Minggu, 22 Februari 2009

Mampukah Kita Bersyukur dengan nikmat-nikmat Allah?

Diantara sifat orang beriman adalah ketika mendapat berbagai kenikmatan, dia bersyukur kepada Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut yaitu Allah. Dia ucapkan: "Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah" dan ucapan yang sejenisnya.
Memang arti syukur sendiri adalah memuji kepada Dzat yang telah memberikan berbagai kenikmatan dan kebaikan.
Tapi cukupkah dengan hanya memuji melalui lisan semata?

Sebenarnya tidak cukup hanya dengan itu, karena betapa banyaknya orang yang memuji Allah dengan lisan-lisan mereka ketika mendapatkan nikmat tetapi bersamaan dengan itu tetap bergelimang dalam kemaksiatan.

Akan tetapi syukur itu mempunyai rukun-rukunnya yaitu tiga rukun. Dimana syukurnya seorang hamba berporos pada tiga rukun tersebut –yang tidak akan dinamakan syukur kecuali dengan terkumpul ketiga-tiganya- yaitu: pertama: mengakui nikmat tersebut dengan batin (di dalam hati); kedua: membicarakannya secara zhahir (yaitu lisan kita memuji Dzat yang telah memberikan nikmat dan menyebut-nyebut nikmat tersebut); dan ketiga: meminta bantuan dengan nikmat tersebut didalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (artinya menggunakan nikmat tersebut untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah).

Maka kesimpulannya, syukur itu berkaitan dengan hati, lisan dan anggota badan. Adapun tugasnya hati adalah pertama: mengakui nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah bukan dari yang lainnya walaupun sebabnya bisa jadi melalui teman, jual beli atau yang lainnya akan tetapi semuanya itu hanyalah sebab atau perantara dalam mendapatkan nikmat akan tetapi pada hahikatnya yang memberinya hanyalah Allah semata; dan kedua: mencintai Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut demikian juga mencintai nikmat tersebut.

Adapun tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah Ta'ala) dan menahan nikmat tersebut jangan sampai digunakan untuk kemaksiatan kepada-Nya.

Dan sungguh Allah telah menggandengkan syukur dengan iman dan mengkhabarkan bahwasanya Dia tidak akan mengadzab makhluk-Nya apabila mereka bersyukur dan beriman kepada-Nya. Allah berfirman:
مَا يَفْعَلُ اللَّهُ بِعَذَابِكُمْ إِنْ شَكَرْتُمْ وَءَامَنْتُمْ وَكَانَ اللَّهُ شَاكِرًا عَلِيمًا
"Allah tidak akan menyiksa kalian, jika kalian bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui." (An-Nisaa`:147)

Allah juga mengkhabarkan bahwasanya orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang khusus diberikan anugerah diantara hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
وَكَذَلِكَ فَتَنَّا بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لِيَقُولُوا أَهَؤُلاَءِ مَنَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَيْنِنَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَعْلَمَ بِالشَّاكِرِينَ
"Dan demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebahagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata: "Orang-orang semacam inikah diantara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?" (Allah berfirman): "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?" (Al-An'aam:53)

Dan Allah membagi manusia bahwasanya diantara mereka ada orang-orang yang bersyukur dan ada pula yang kufur, maka sesuatu yang paling dibenci oleh Allah adalah kekufuran dan pelakunya dan sebaliknya sesuatu yang paling dicintai oleh Allah adalah rasa syukur dan pelakunya. Allah berfirman:
إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir." (Al-Insaan:3)

Dan Dia juga berfirman:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kalian memaklumkan: "Sesungguhnya jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya 'adzab-Ku sangat pedih." (Ibraahiim:7)

Di dalam ayat tersebut Allah Ta'ala mengaitkan tambahan nikmat dengan syukur, sementara tambahan nikmat dari-Nya tiada akhir/batasnya sebagaimana tidak ada batasnya untuk mensyukuri-Nya, dan Allah menerangkan bahwasanya kebanyakan balasan yang Dia berikan kepada hamba-hamba-Nya itu tergantung kehendak-Nya, seperti firman-Nya:
وَإِنْ خِفْتُمْ عَيْلَةً فَسَوْفَ يُغْنِيكُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ إِنْ شَاءَ
"Dan jika kalian khawatir menjadi miskin, maka Allah nanti akan memberikan kekayaan kepada kalian dari karunia-Nya, jika Dia menghendaki." (At-Taubah:28)

Dia juga berfirman tentang masalah ampunan:
وَيَغْفِرُ لِمَنْ يَشَاءُ
"Dan diampuni-Nya bagi siapa yang dikehendaki-Nya." (Al-Maa`idah:40)
Dan Dia berfirman tentang masalah taubat:

وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ
"Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya." (At-Taubah:15)

Allah memutlakkan balasan syukur dengan semutlak-mutlaknya ketika menyebutnya seperti firman-Nya:
وَسَنَجْزِي الشَّاكِرِينَ
"Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (Aali 'Imraan:145)

Dan ketika musuh Allah, Iblis, mengetahui betapa tingginya kedudukan syukur, dan bahwasanya syukur itu termasuk dari seagung-agung kedudukan dan yang paling tingginya, maka dia (Iblis) menjadikan tujuan (utamanya) adalah berusaha memutuskan manusia dari syukur, lalu dia berkata:

ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ
"Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at)." (Al-A'raaf:17)

Allah telah mensifati orang-orang yang bersyukur bahwasanya mereka adalah orang-orang yang sedikit diantara hamba-hamba-Nya. Allah berfirman:
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur (berterima kasih)." (Saba`:13)

Dan telah tetap di dalam Ash-Shahiihain dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: Bahwasanya beliau berdiri shalat malam sampai kedua telapak kakinya bengkak-bengkak, maka dikatakan kepada beliau: Mengapa engkau melakukan ini dalam keadaan Allah telah mengampuni seluruh dosa-dosamu yang dahulu maupun yang akan datang? Maka beliau menjawab: "Apakah aku tidak boleh untuk menjadi orang yang bersyukur?"

Dan telah tetap di dalam Musnad Al-Imam Ahmad bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Mu'adz: "Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu, maka janganlah kamu lupa untuk mengatakan setelah selesai dari setiap shalat fardhu:
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
"Ya Allah, tolonglah aku agar senantiasa ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah kepada-Mu dengan sebaik-baiknya."

Syukur itu pengikat kenikmatan dan sebab bertambahnya nikmat, sebagaimana diucapkan oleh 'Umar bin 'Abdul 'Aziz:
"Ikatlah nikmat-nikmat Allah dengan syukur kepada-Nya."

Dan Ibnu Abid Dunya telah menyebutkan dari 'Ali bin Abi Thalib bahwasanya dia berkata kepada seorang laki-laki dari daerah Hamdzaan: "Sesungguhnya nikmat itu disambung dengan syukur sedangkan syukur itu sendiri berkaitan dengan bertambahnya nikmat, dan keduanya bergandengan pada suatu masa, maka tidak akan terputus tambahan nikmat dari Allah sampai terputusnya rasa syukur dari seorang hamba."

Berkata Al-Hasan: "Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat ini, karena sesungguhnya menyebutnya merupakan rasa syukur, dan sungguh Allah telah memerintahkan Nabi-Nya agar menceritakan nikmat Rabbnya. Allah berfirman:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
"Dan terhadap ni'mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)." (Adh-Dhuhaa:11)

Dan Allah senang apabila ditampakkan pengaruh nikmat-Nya kepada hamba-Nya, karena sesungguhnya hal ini merupakan syukur di segala keadaan.

Adalah Abul Mughirah apabila dikatakan kepadanya: Bagaimana engkau berada di pagi hari ya Abu Muhammad? Dia berkata: Kami berada di pagi hari dalam keadaan tenggelam dengan kenikmatan-kenikmatan, tetapi lemah untuk bersyukur, Rabb kami telah memperlihatkan cinta-Nya kepada kami sementara Dia tidak butuh kepada kami dan kami seakan-akan menampakkan kebencian kepada-Nya (dengan sering terjatuh kepada maksiat dan sedikit bersyukur) sementara kami butuh kepada-Nya."

Berkata Syuraih: "Tidaklah seorang hamba ditimpa dengan suatu musibah kecuali Allah memberikan kepadanya tiga kenikmatan: musibah itu tidak berkaitan dengan agamanya; musibah itu tidak lebih besar daripada apa yang telah ada; dan bahwasanya musibah itu mesti terjadi maka sungguh telah terjadi (sebagai ujian baginya)."

Dan berkata Yunus bin 'Ubaid: Seseorang berkata kepada Abu Ghanimah: "Bagaimana keadaanmu di pagi hari? Dia berkata: "Aku berada di pagi hari diantara dua nikmat yang aku tidak tahu mana dari keduanya yang lebih utama: dosa-dosa yang ada padaku telah Allah tutupi maka tidak ada seorangpun yang mampu mencelaku; dan rasa cinta yang Allah berikan kepada hati-hati para hamba yang amalku sendiri tidak bisa mencapainya."
Sufyan menerangkan ayat:
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ
"Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui." (Al-Qalam:44)

"Mereka diberikan berbagai nikmat tetapi mereka terhalang dari bersyukur." Dan berkata yang lainnya: "Setiap kali mereka terjatuh ke dalam perbuatan dosa maka beritahukan akan nikmat (yang telah Allah berikan kepada mereka)."

Berkata seseorang kepada Abu Hazim: "Bagaimana bentuk syukurnya kedua mata ya Abu Hazim?" Maka dia menjawab: "Jika engkau melihat kebaikan, engkau mengumumkannya (memberitahukan kepada yang lainnya) dan sebaliknya jika engkau melihat kejelekan, engkau menyembunyikannya." Laki-laki tadi bertanya lagi: "Bagaimana syukurnya kedua telinga?" Beliau menjawab: "Jika engkau mendengar kebaikan maka engkau menjaganya dan jika engkau mendengar kejelekan, engkau menolaknya." Dia bertanya lagi: "Bagaimana syukurnya kedua tangan?" Beliau menjawab: "Janganlah engkau mengambil apa-apa yang bukan milik keduanya dan janganlah engkau tahan hak untuk Allah apa yang ada pada keduanya." Dia bertanya lagi: "Bagaimana syukurnya perut?" Beliau menjawab: "Jadikanlah makanan dibawahnya dan ilmu di atasnya." Dia bertanya lagi: "Bagaimana syukurnya kemaluan?" Beliau menjawab dengan membacakan ayat:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ(5) إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ(6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ(7)
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas." (Al-Mukminuun:5-7)
Dia bertanya lagi: "Bagaimana syukurnya kedua kaki?" Beliau menjawab: "Jika engkau mengetahui suatu mayat yang engkau iri kepadanya (karena ketika hidupnya melakukan ketaatan kepada Allah), maka pergunakan keduanya sebagaimana dia amalkan.

Jika engkau tidak bersyukur dengan seluruh anggota badanmu, maka permisalannya adalah seperti seseorang yang mempunyai pakaian lalu dia mengambil ujungnya dan tidak memakainya, maka pakaian tersebut tidak memberikan manfaat kepadanya untuk menghindari panas, dingin, salju dan hujan.

Dan sebagian 'ulama telah menulis surat kepada salah seorang saudaranya: "Ammaa ba'd, sungguh kami telah berada di pagi hari dengan nikmat-nikmat dari Allah yang tidak dapat dihitung bersamaan banyaknya maksiat yang telah kami lakukan, maka kami tidak tahu mana diantara keduanya yang kami bisa bersyukur, apakah keindahan (yaitu kebaikan-kebaikan) yang telah dimudahkan bagi kita ataukah kejelekan-kejekan yang telah ditutupi?!

Subhaanallah, seorang muslim tidak boleh sekejap pun untuk melupakan syukur kepada Allah. Mengapa? Tidakkah kita sadari betapa banyak nikmat yang telah Allah berikan kepada kita dalam keadaan kita sering terjatuh kepada kemaksiatan akan tetapi Allah tutupi aib-aib kita.

Untuk itu bersegeralah kembali dan taubat kepada-Nya serta kita minta kepada-Nya agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang pandai bersyukur. Wallaahul Muwaffiq.

Disadur dari Tazkiyatun Nufuus, karya Ibnu Rajab, Ibnul Qayyim dan Abu Hamid dengan beberapa perubahan.

(Dikutip dari Bulletin Al Wala' wa Bara', Edisi ke-9 Tahun ke-3 / 28 Januari 2005 M / 17 Dzul Hijjah 1425 H . Judul asli Mampukah Kita Bersyukur?. Diterbitkan Yayasan Forum Dakwah Ahlussunnah Wal Jamaah Bandung. Url sumber : http://salafy.iwebland.com/fdawj/awwb/read.php?edisi=9&th=3)

Pelipur Lara Saat Musibah dan Bencana

Yang namanya musibah tentu rasanya tidak mengenakkan. Makanya banyak manusia merasa tidak suka bila hidupnya tiba-tiba menjadi menderita karena musibah. Kehidupan yang selama ini mapan bisa hancur tak bersisa. Tidak sedikit di antara mereka yang mengalami kesedihan berlarut-larut hingga menyebabkan stress. Bagaimana kiat menghadapi musibah secara benar dan bijak?

Dalam menapaki kehidupan dunia yang fana ini, manusia senantiasa dihadapkan pada dua keadaan, bahagia atau sengsara. Perubahan keadaan itu bisa terjadi kapan saja sesuai dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala. Namun hanya orang yang beriman yang bisa lurus dalam menyikapi silih bergantinya situasi dan kondisi. Hal ini karena ia meyakini keagungan dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta tahu akan kelemahan dirinya.
Tidak dipungkiri, musibah dan bencana akan selalu menyisakan kesedihan dan kepedihan. Betapa tidak, sekian orang yang dicinta kini telah tiada. Harta benda musnah tak tersisa. Berbagai agenda dan acara pun harus tertunda. Bahkan segenap pikiran tercurah untuk meratapi diri.
Kondisi yang menyayat ini terkadang menggugah orang yang dalam hatinya ada sifat rahmat dan belas kasih. Sehingga uluran tangan dan bela sungkawa pun mengalir dari berbagai arah. Intinya, meringankan penderitaan orang yang terkena bencana. Nilai kepedulian yang datang dari orang lain jelas memberi arti. Namun yang terpenting adalah bagaimana menghibur hati orang yang menderita itu serta menumbuhkan seribu harapan untuk menatap masa depannya. Hal ini penting, karena bantuan dari manusia bisa terputus, dan orang yang kemarin membantu mungkin saja kini justru perlu dibantu.
Ini ketika mereka membantu dengan tulus dan tidak ada tendensi lain. Maka bagaimana kiranya jika kebanyakan orang yang membantu punya tujuan-tujuan politis atau bahkan para misionaris yang ingin menancapkan cakarnya di tubuh orang-orang yang lemah untuk dimurtadkan?
Maka sudah seharusnya kita umat Islam menjadi orang-orang yang terdepan dalam memberikan bantuan kepada orang-orang yang sedang ditimpa musibah, baik bantuan moril ataupun materil. Kita paparkan di hadapan umat tentang keagungan syariat ini serta keindahannya, dan bahwa Islam ini mampu menjawab problematika zaman. Kita sampaikan hiburan yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rasul-Nya serta petuah para salaf umat ini.

Hakikat Musibah
Musibah adalah perkara yang tidak disukai yang menimpa manusia. Berkata Al-Imam Al-Qurthubi: “Musibah adalah segala apa yang mengganggu seorang mukmin dan yang menimpanya.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 2/175)

Macam-macam Musibah
Sungguh musibah beragam bentuknya. Ada yang menimpa jiwa seseorang, tubuhnya, hartanya, keluarganya, dan yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِنَ اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Ath-Thabari berkata: “Ini adalah pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para pengikut Rasul-Nya, bahwa Ia akan menguji mereka dengan perkara-perkara yang berat, supaya (nyata) diketahui orang yang mengikuti rasul dan orang yang berpaling.” (Jami’ul Bayan, 2/41)

Pentingnya Istirja’ ketika Musibah
Istirja’ adalah ucapan:

إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُوْنَ

“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ

“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.’ Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al-Baqarah: 155-157)
Shahabiyah Ummu Salamah menyebutkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ: إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ اللَّهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَاخْلُفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا؛ إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

“Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah lalu ia mengatakan apa yang diperintahkan Allah (yaitu): ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, wahai Allah, berilah aku pahala pada (musibah) yang menimpaku dan berilah ganti bagiku yang lebih baik darinya’; kecuali Allah memberikan kepadanya yang lebih baik darinya.” (HR. Muslim no. 918)
Ummu Salamah berkata: “Tatkala Abu Salamah meninggal, aku mengucapkan istirja’ dan mengatakan: ‘Ya Allah, berilah saya pahala pada musibah yang menimpa saya dan berilah ganti bagi saya yang lebih baik darinya.’
Kemudian aku berpikir kiranya siapa orang yang lebih baik bagiku daripada Abu Salamah? Maka tatkala telah selesai masa ‘iddah-ku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (datang) meminta izin untuk masuk (rumahku) di mana waktu itu aku sedang menyamak kulit… Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melamarku.
Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah selesai dari pembicaraannya, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sebenarnya saya mau dilamar tapi saya seorang wanita yang sangat pencemburu. Saya khawatir, anda akan melihat dari saya sesuatu yang nantinya Allah akan mengazab saya karenanya. Saya juga orang yang sudah berumur dan banyak anak.’
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Adapun apa yang engkau sebutkan tentang sifat cemburu, niscaya Allah akan menghilangkannya. Dan apa yang engkau sebutkan tentang umur maka aku juga sama (sudah berumur). Dan yang engkau sebutkan tentang banyaknya anak, maka anakmu adalah tanggunganku.’
Aku berkata: ‘Aku menyerahkan diriku kepada Rasulullah.’ Lalu beliau menikahiku.
Ummu Salamah berkata setelah itu: “Allah telah menggantikan untukku yang lebih baik dari Abu Salamah, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Ahmad)
Ini merupakan bukti dari firman Allah:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ

“Dan berilah berita gembira bagi orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 155)
Yaitu adakalanya seseorang diberi ganti oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yang lebih baik. Seperti yang dialami Ummu Salamah ketika suaminya meninggal. Ketika Ummu Salamah mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengucapkan apa yang beliau perintahkan dengan penuh ketaatan, Allah Subhanahu wa Ta’ala ganti dengan yang lebih baik darinya, yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya kebaikan adalah apa yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya sedangkan kesesatan serta kecelakaan ada pada penyelisihan terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Tatkala Ummu Salamah tahu bahwa segala kebaikan yang ada di alam ini -baik umum atau khusus- datangnya dari sisi Allah, dan bahwa segala kejelekan yang ada di alam ini yang khusus menimpa hamba dikarenakan menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, maka ketika Ummu Salamah mengucapkan kalimat tersebut ia mendapatkan kemuliaan mendampingi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Terkadang pula dengan kalimat istirja’ tadi seorang hamba mendapatkan kedudukan yang tinggi dan pahala yang besar.
Kalimat ini (إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ) mengandung obat/penghibur dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya bagi orang yang ditimpa musibah. Kalimat ini adalah sesuatu yang paling tepat dalam menghadapi musibah dan lebih bermanfaat bagi hamba untuk di dunia ini dan akhirat kelak. Karena di dalamnya terkandung pengakuan yang tulus bahwa hamba ini, jiwanya, keluarganya, hartanya dan anaknya adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah jadikan itu semua sebagai titipan yang ada pada hamba. Jika Allah mengambilnya maka itu seperti seseorang yang mengambil barang yang dipinjam oleh peminjam.
Kalimat ini juga mengandung pengukuhan bahwa kembalinya hamba hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang pasti akan meninggalkan dunia ini di belakang punggungnya. Ia akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat sendirian, sebagaimana awal mulanya. Tiada keluarga dan harta yang bersamanya. Ia akan datang nanti dengan membawa amal kebaikan dan amal kejelekan.

Penghibur Kesedihan
 Sebagian orang menyangka bahwa orang yang ditimpa penyakit atau semisalnya adalah orang yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal tidak seperti itu kenyataannya. Karena terkadang seorang diuji dengan penyakit dan musibah padahal ia seorang yang mulia disisi-Nya seperti para nabi, rasul, dan orang shalih. Sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masih di Makkah, saat perang Uhud dan Ahzab serta ketika wafatnya. Musibah juga menimpa Nabi Ayyub, Nabi Yunus, dan nabi yang lainnya ‘alaihimussalam. Itu semua untuk mengangkat kedudukan mereka dan dibesarkannya pahala serta sebagai contoh (kesabaran) bagi orang yang datang setelah mereka.
Terkadang seorang diuji dengan kesenangan -seperti harta yang banyak, istri, anak-anak, dan lainnya- namun tidak sepantasnya untuk dikatakan sebagai orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala jika ia tidak melakukan ketaatan kepada-Nya. Orang yang mendapatkan itu semua bisa jadi memang orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan bisa jadi orang yang dimurkai-Nya.
Keadaannya berbeda-beda, sedangkan kecintaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala bukanlah karena kedudukan, anak, harta dan jabatan. Kecintaan di sisi-Nya diraih dengan amal shalih, takwa dan kembali kepada Allah serta melaksanakan hak-hak-Nya. (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 7/150-151)
Seorang mukmin hendaklah yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya akan menimpanya, tidak meleset sedikit pun. Sedangkan apa yang tidak ditakdirkan oleh-Nya pasti tidak akan menimpanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنْفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ. لِكَيْ لاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Al-Hadid: 22-23)

 Seseorang yang ditimpa musibah hendaklah melihat apa yang ada dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Niscaya ia akan mendapatkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan sesuatu yang lebih besar dari lenyapnya musibah, bagi orang yang sabar dan ridha. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)

 Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي جَسَدِهِ وَمَالِهِ وَوَلَدِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Senantiasa bala` (cobaan) menimpa seorang mukmin dan mukminah pada tubuhnya, harta dan anaknya, sehingga ia berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan lainnya, dan dinyatakan hasan shahih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi, 2/565 no. 2399)

 Seorang yang ditimpa musibah hendaklah tahu bahwa di setiap sudut kampung dan kota bahkan setiap rumah, ada orang yang tertimpa musibah. Di antara mereka ada yang terkena musibah sekali dan ada pula yang berkali-kali. Hal itu tidak terputus sampai seluruh anggota keluarga terkena semua. Dengan demikian ia akan merasakan ringannya musibah karena bukan hanya dia yang terkena cobaan.
Jika melihat ke kanan, ia tidak melihat kecuali orang yang terkena musibah. Dan jika melihat ke kiri, ia tidak melihat kecuali orang yang sedih. Bila orang yang terkena musibah tahu bahwa jika dia memerhatikan alam ini tidaklah ia melihat kecuali di tengah-tengah mereka ada yang terkena musibah, baik dengan lenyapnya sesuatu yang dicintai atau tertimpa dengan sesuatu yang tidak mengenakkan. Maka dia akan tahu bahwa kebahagiaan dunia hanyalah seperti mimpi dalam tidur atau bayangan yang lenyap. Jika kesenangan dunia membuat tertawa sedikit, ia akan menjadikan tangis yang banyak. Dan tidaklah suatu rumah dipenuhi keceriaan kecuali suatu saat akan dipenuhi ratap tangis. Muhammad bin Sirin berkata: “Tiada suatu tawa kecuali setelahnya akan datang tangis.”

 Seorang hamba melihat dengan mata hatinya sehingga ia tahu bahwa pahitnya kehidupan dunia itu adalah suatu hal yang manis di akhirat dan manisnya dunia merupakan perkara yang pahit di negeri akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang membaliknya. Lihatlah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يُؤْتَى بِأَنْعَمِ أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فيُصْبَغُ فِي النَّارِ صَبْغَةً ثُمَّ يُقَالُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ. وَيُؤْتَى بِأَشَدِّ النَّاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيُصْبَغُ صَبْغَةً فِي الْجَنَّةِ فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطُّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطُّ؟ فَيَقُوْلُ: لاَ، وَاللهِ يَا رَبِّ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ وَلاَ رَأَيْتُ شِدَّةً قَطُّ

Di hari kiamat nanti akan didatangkan seorang penduduk dunia yang paling mendapatkan nikmat dari penghuni neraka, lalu ia dicelupkan ke dalam neraka sekali celupan, kemudian ditanya: “Wahai anak keturunan Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah mendapatkan kenikmatan?” Ia menjawab: “Tidak, demi Allah, wahai Rabbku.” Dan akan didatangkan seorang yang paling menderita di dunia dari penduduk surga lalu ia dicelupkan ke dalam surga sekali celupan, kemudian ditanya: “Wahai anak keturunan Adam, pernahkah kamu melihat penderitaan? Pernahkah kamu merasakan kesengsaraan?” Ia menjawab: “Tidak demi Allah, wahai Rabbku. Tidak pernah aku mengalami penderitaan dan tidak pernah melihat kesengsaraan.” (HR. Muslim no. 2807)

 Orang yang ditimpa musibah hendaklah meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertawakal kepada-Nya. Hendaklah ia tahu bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama orang-orang yang sabar.

 Hendaklah orang yang ditimpa musibah memantapkan dirinya sehingga tahu bahwa musibah yang datang kepadanya itu datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, sesuai dengan keputusan dan takdir-Nya. Hendaknya dia menyadari pula bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah menakdirkan musibah kepadanya untuk membinasakan dan menyiksanya, tetapi Ia mengujinya untuk diuji kesabaran dan keridhaannya serta pengaduannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

 Hendaklah diketahui bahwa musibah yang paling besar adalah musibah yang menimpa agama seorang. Seperti seseorang yang dahulu rajin ibadah, namun kini bermalas-malasan, atau orang yang dulunya taat kini meninggalkannya dan suka dengan kemaksiatan. Inilah musibah yang tidak ada keberuntungannya sama sekali.

 Al-Imam Ibnul Jauzi menyebutkan beberapa perkara untuk mengobati musibah sehingga seorang tidak berlarut-larut dalam kesedihan yang bisa membinasakan dan mengabaikan hak dan kewajiban, yaitu:
- Mengetahui bahwa dunia tempat ujian dan petaka serta bahwa musibah suatu hal yang pasti terjadi.
- Memperkirakan adanya orang yang ditimpa musibah lebih besar dan banyak dari musibahnya, serta melihat keadaan orang yang ditimpa musibah seperti musibahnya sehingga ia terhibur karena bukan hanya dia saja yang terkena musibah.
- Meminta ganti yang lebih baik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharap pahala dari kesabarannya.
(Diambil dari kitab Tasliyatu Ahlil Masha`ib karya Al-Imam Muhammad Al-Munbajja Al-Hanbali -dengan ringkas- hal. 13-22)

Faedah di Balik Musibah
Allah Maha Bijaksana, tiada keputusan dan ketentuan-Nya yang lepas dari hikmah. Tidak terkecuali dengan perkara musibah ini. Kalaulah seandainya tidak ada faedah dari musibah ini kecuali sebagai penghapus dosa di mana itu saja sudah mencukupi, bagaimana kiranya jika di sana ada setumpuk faedah? Subhanallah!
Shahabat Ibnu Mas’ud berkata: “Aku masuk kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sedang demam, aku berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau sangat demam.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, sesungguhnya aku merasakan demam seperti demamnya dua orang di antara kalian.’ Aku berkata: ‘Yang demikian karena engkau mendapat pahala dua kali lipat.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Benar, memang seperti itu. Tiada seorang muslim pun yang ditimpa sesuatu yang mengganggu, sakit atau selainnya kecuali Allah akan mengampuni dosanya seperti pohon yang merontokkan daunnya’.” (HR. Muslim no. 2571, Kitabul Birri wash Shilah)
Berikut ini beberapa faedah dari musibah:
1. Musibah yang menimpa menunjukkan kepada manusia akan kekuasaan Allah dan lemahnya hamba.
2. Musibah menjadikan hamba menuluskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena tiada tempat untuk mengadukan petaka kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada tempat bersandar agar tersingkapnya petaka kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ

“Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-’Ankabut: 65)
3. Musibah menjadikan seorang kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bersimpuh di hadapan-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَإِذَا مَسَّ اْلإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيْبًا إِلَيْهِ

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudaratan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabbnya dengan kembali kepada-Nya.“ (Az-Zumar: 8)
4. Musibah menjadikan seorang mempunyai sifat penyantun dan pemaaf terhadap orang yang melakukan kesalahan kepadanya.
5. Musibah menyebabkan seorang bersabar atasnya. Dan sabar menyebabkan datangnya kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala serta pahala-Nya yang banyak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَاللهُ يُحِبُّ الصَّابِرِيْنَ

“Dan Allah cinta orang-arang yang sabar.” (Al-’Imran: 146)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Tidaklah seorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Al-Bukhari no. 781)
6. Bergembira dengan musibah karena besarnya faedah dari musibah ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنْ كَانَ أَحَدُهُمْ لَيَفْرَحُ بِالْبَلاَءِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بِالرَّخَاءِ

“Dan sungguh salah seorang dari mereka (yakni orang-orang yang shalih) merasakan senang terhadap bala` (musibah) seperti salah seorang kalian suka terhadap kemakmuran.” (Shahih Sunan Ibnu Majah, 3/318, no. 3266)
7. Musibah akan membersihkan dosa dan kesalahan.
8. Musibah akan menumbuhkan sifat belas kasihan pada diri seseorang terhadap yang ditimpa musibah dan membantu untuk meringankan beban mereka.
9. Mengetahui besarnya nikmat sehat serta mensyukurinya, karena nikmat tidaklah diketahui kadar besarnya kecuali setelah tidak adanya.
10. Di balik dari musibah ada faedah-faedah yang tersembunyi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)
Tatkala raja yang bengis hendak merampas Sarah (istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam) dari Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ternyata di balik musibah itu sang raja akhirnya memberikan seorang pembantu yang bernama Hajar kepada Sarah. Dari Hajar (istri Ibrahim ‘alaihissalam), lahirlah Isma’il, dan di antara keturunan Isma’il adalah penutup para nabi dan rasul yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
11. Musibah dan penderitaan akan menghalangi sifat sombong, angkuh, dan kebengisan. Kalaulah raja Namrud yang kafir itu seorang yang fakir, sakit-sakitan, tuli dan buta, tentulah ia tidak akan membantah Nabi Ibrahim tentang Rabbnya. Namun keangkuhan kekuasaan itulah yang menyebabkan Namrud menentang Ibrahim. Dan seandainya Fir’aun itu fakir dan sakit-sakitan tentu ia tidak akan mengatakan: ‘Sayalah Rabb kalian yang paling tinggi.’
Allah berfirman:

إِنَّ اْلإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup.” (Al-’Alaq: 6-7)
Dan firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوْهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُوْنَ

“Dan kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’.” (As-Saba: 34)
Sedangkan orang-orang fakir dan lemah mereka banyak yang menjadi wali-wali Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pengikut para Nabi. Karena faedah-faedah yang mulia ini, maka orang yang paling besar cobaannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, kemudian yang semisalnya. Mereka dituduh sebagai orang-orang gila, tukang sihir, dan sekian ejekan lainnya. Namun mereka bersabar atas pendustaan dan gangguan orang-orang kafir tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِيْنَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيْرًا

“Kalian sungguh-sungguh akan diuji terhadap harta dan diri kalian, dan juga kalian sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak.” (Ali ‘Imran: 186) [Dinukil dari Tafsir Al-Qasimi -dengan ringkas- 1/405-409]

Kewajiban Bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Merendahkan Diri di Hadapan-Nya ketika Datang Musibah
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya yang mendalam menguji hamba-Nya dengan kesenangan dan penderitaan untuk menguji kesabaran dan syukur mereka. Barangsiapa bersabar ketika mendapat musibah dan bersyukur ketika mendapat nikmat serta bersimpuh di hadapan-Nya saat mendapat cobaan, dengan mengadu kepada-Nya akan dosa dan kekurangannya serta memohon rahmat dan ampunan-Nya, sungguh ia telah beruntung dan meraih kesudahan yang baik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَبَلَوْنَاهُمْ بِالْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Dan Kami uji mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang jelek-jelek agar mereka kembali (kepada kebenaran).” (Al-A’raf: 168)
Dan firman-Nya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Ar-Ruum: 41)
Yang dimaksud dengan kebaikan di sini adalah nikmat seperti kesuburan, kemakmuran, kesehatan, dimenangkan atas musuh dan semisalnya. Sedangkan yang dimaksud dengan kejelekan adalah musibah seperti penyakit, dikuasai oleh musuh, gempa, angin topan, banjir yang menghancurkan dan semisalnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala uji dengan itu semua agar manusia kembali ke jalan yang benar, segera bertaubat dari dosa dan bergegas menuju ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Karena kekufuran dan maksiat adalah sumber segala bencana di dunia dan di akhirat. Adapun beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, menaati Rasul-Nya dan berpegang teguh dengan syariat-Nya adalah sumber kemuliaan dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan hamba-Nya untuk bertaubat kepada-Nya di saat turunnya musibah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى أُمَمٍ مِنْ قَبْلِكَ فَأَخَذْنَاهُمْ بِالْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ لَعَلَّهُمْ يَتَضَرَّعُوْنَ. فَلَوْلاَ إِذْ جَاءَهُمْ بَأْسُنَا تَضَرَّعُوا وَلَكِنْ قَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri. Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 42-43)
Telah shahih riwayat dari Amirul Mukminin Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullahu bahwa beliau menulis surat kepada para gubernurnya ketika terjadi gempa di zamannya. Beliau menyuruh mereka untuk memerintahkan kaum muslimin supaya bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, merendahkan diri di hadapan-Nya, dan beristighfar dari dosa-dosa. (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnu Baz, 2/126-129)
Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Asysyariah.com

Sabtu, 21 Februari 2009

wasiat Imam Syafi'i

10 PESANAN IMAM SYAFIE YG MESTI DIIKUT


SEBELUM IMAM SYAFIE WAFAT, BELIAU SEMPAT BERPESAN KEPADA MURIDNYA SERTA UMAT ISLAM UMUMNYA. BERIKUT ADALAH KANDUNGAN WASIAT TERSEBUT :

hak kepada diri. iaitu mengurangkan tidur, mengurangkan makan, mengurangkan percakapan dan berpada-pada dengan rezeki yang ada

hak kepada malaikat maut. iaitu mengqadakan kewajipan-kewajipan yang tertinggal, mendapatkan kemaafan dari orang yang dizalimi, membuat persediaan untuk mati dan merasa cinta pada Allah

hak kepada kubur. iaitu membuang tabiat suka menabur fitnah, membuang tabiat kencing merata-rata, memperbanyakkan solat tahajjud dan membantu orang yang dizalimi.

hak kepada munkar dan nakir. iaitu tidak berdusta, berkata benar, meninggalkan maksiat dan nasihat-menasihati.

hak kepada mizan (neraca timbangan amalan pada hari akhirat). iaitu menahan kemarahan, banyak berzikir, mengikhlaskan amalan dan sanggup menanggung kesulitan.

hak kepada sirat (titian yang merentangi neraka pada hari akhirat). membuang tabiat suka mengumpat, wara', suka membantu orang beriman dan suka berjemaah.

hak kepada malik (malaikat penjaga neraka). iaitu menangis lantaran takutkan Allah s.w.t, berbuat baik kepada ibu bapa, bersedekah ketika terang-terangan serta bersembunyi serta memperelokkan akhlak.

hak kepada ridhwan (malaikat penjaga syurga). iaitu merasa redha kepada qadha' Allah, bersabar menerima bala, bersyukur ke atas nikmat allah dan bertaubat dari melakukan maksiat.

hak kepada nabi s.a.w. iaitu berselawat ke atasnya, berpegang dgn syariat, bergantung kepada al-sunnah (hadith), menyayangi para sahabat dan bersaing dalam mencari kelebihan dari Allah.

hak kepada Allah s.w.t. iaitu mengajak manusia ke arah kebaikan, mencegah manusia dari kemungkaran, menyukai ketaatandan membenci kemaksiatan.

semoga kita dapat beramal dengan wasiat-wasiat imam syafie yang amat berguna ini.

Dari Ibu kita mengenal ALlah

Dari Ibu, Kita Belajar Mengenal Allah
Tgl. publikasi: 22/8/2001 12:58 WIB
eramuslim - "Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)." (QS. Al AhQaaf 46:15)

"Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu." (QS. Luqman 31:14)

Dari Abu Hurairah r.a, katanya: "Seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw, "Ya, Rasulullah, siapakah dari keluargaku yang paling berhak dengan kebaktianku yang terindah?" Jawab beliau, "Ibumu!, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian yang terdekat kepadamu, yang terdekat".
Sahabatku tercinta rahimakumullah, bukankah Ibu adalah orang pertama yang kita kenal ketika hadir di alam ini? Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl 16:78)

Beliau sambut kehadiran kita dengan penuh senyum kebahagiaan. "Alhamdulillah," ucapnya lirih, betapa Allah Maha Kuasa, sungguh peristiwa melahirkan adalah suatu peristiwa yang teramat sangat luar biasa bagi seorang wanita. Tak terbayangkan betapa menderita berjuang antara hidup dan mati. Tiada peduli urat-urat beliau terputus, Masya Allah, betapa sungguh tak ternyana sakitnya

Tapi beliau ikhlas, "Untuk anakku tercinta akan kukorbankan seluruh jiwa raga". Betapa mulia seorang ibu, beliau sabar memelihara, menjaga, merawat, dan membesarkan kita. Duh ketika keremangan malam yang dingin ia dapati kita menangis. Beliau terjaga, beranjak bergegas menghampiri, memberikan apa yang kita pinta. Masya Allah .
Beliau sangat sayang dan begitu pengasih, ketika kita sudah bisa bermain, berlari terkadang ibu memarahi kita, "Jangan main di sini anakku... nanti kotor, jangan begini begitu karena tidak baik!". Semua itu dilakukannya karena tidak ingin kita celaka...

Ketika kita beranjak dewasa, perlu makan beliau rela tak makan demi kita kasih sayangnya begitu tulus tanpa pamrih tak mengharapkan apa-apa kecuali kita sehat dan selamat. Hari berganti hari detik, menit, waktu akhirnya kita sadari hakikat keberadaan diri ini.
Jadi... terbuktilah bagaimana Allah Swt itu Ar Rahmaan dan Ar Rahiim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dengan Cinta-Nya Ia memperkenalkan diri-Nya melalui perantara seorang Ibu. Kalau ibu saja begitu, apalagi Allah yang menciptakan kita? Subhanallah, Walhamdulillah, Walaa ilaa ha ilallah, Wallaahu Akbar. Karena pengorbanan Ibu yang tak terhingga itulah, Allah mewajibkan (memerintahkan) kita supaya berbakti (berbuat baik) kepada beliau.

"Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al-Isra’ 17:23)

"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo'a: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni'mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau Ridhai: berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (QS. Al AhQaaf 46:15).

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS. Al-Isra'17:24)

Dari Abu Hurairah r.a, katanya: "Seseorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw, 'Ya, Rasulullah, siapakah dari keluargaku yang paling berhak dengan kebaktianku yang terindah?' Jawab beliau, " Ibumu! Kemudian ibumu Kemudian ibumu, Kemudian bapakmu, kemudian yang terdekat kepadamu, yang terdekat.

Perbandingan cinta menurut Rasulullah kepada Ibu dibanding Bapak adalah 3:1. Berbakti sebaik-baiknya pada orangtua juga merupakan jihad yang Allah janjikan sangat besar pahalanya. Sebagaimana sabda Beliau Saw: Dari Abdullah bin Amru bin Ash r.a. katanya: Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah Saw. Lalu dia berkata: "Aku bai’at (berjanji setia) dengan Anda akan ikut hijrah dan jihad, karena aku mengingini pahala dari Allah. Tanya Nabi Saw, "Apakah orangtuamu masih hidup? Jawab orang itu, "Bahkan keduanya masih hidup". Tanya Nabi Saw, "Apakah kamu mengharapkan pahala dari Allah?" Jawabnya, " Ya!" Sabda Nabi Saw, "Pulanglah kamu kepada kedua orangtuamu, lalu berbaktilah pada keduanya sebaik-baiknya!". Besar pahalanya juga seimbang dengan besar dosanya jika tidak berbakti padanya.

Dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi Saw sabdanya: "Dia celaka! Dia celaka! Dia celaka!" Lalu beliau ditanya orang, " Siapakah yang celaka, Ya Rasulullah?" Jawab Nabi Saw, " Siapa yang mendapati kedua orang tuanya (dalam usia lanjut), atau salah satu keduanya, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan merawat orang tuanya sebaik-baiknya)".

Bukti kecintaan Rasulullah kepada Ibu, dapat dilihat dibawah ini, Dari Fadhal r.a, katanya: Seorang perempuan dari Khats'am bertanya kepada Rasulullah Saw, katanya: " Ya, Rasulullah! Bapakku sudah tua renta, kepadanya terpikul kewajiban menunaikan ibadah haji, sedangkan dia sudah tak sanggup duduk di punggung untanya, bagaimana itu? Jawab Rasulullah Saw, "Hajikanlah dia olehmu!" Dari Aisyah r.a., katanya : Seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah Saw, " ya Rasulullah! Ibuku meninggal dengan tiba-tiba dan beliau tidak sempat berwasiat. Menurut dugaanku, seandainya dia sempat berbicara, mungkin dia akan bersedekah. Dapatkah beliau akan pahalanya jika aku bersedekah atas nama beliau?" Jawab Rasulullah Saw, " Ya, dapat!" Dari Ibnu Abbas r.a., katanya: "Sa'ad bin Ubadah pernah minta fatwa kepada Rasulullah Saw. Tentang nazar ibunya yang telah meninggal, tetapi belum sempat ditunaikannya. Maka bersabda Rasulullah Saw, "Bayarlah olehmu atas namanya!" " Bagaimana jika Orangtua kita menyuruh untuk mepersekutukan Allah? "Allah Berfirman: "Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan." (QS Luqman 31:15),

Dari Asma’ binti Abu Bakar r.a., katanya: "Ketika terjadi gencatan senjata dengan kaum Quraisy, ibuku yang ketika itu masih musyrik mendatangiku. Lalu aku minta izin kepada Rasulullah Saw. Seraya berkata:" Ya Rasulullah! Ibuku mendatangiku, karena beliau rindu kepadaku. Bolehkah aku menemuinya?". Jawab rasulullah Saw, " Ya, boleh! Temuilah ibumu!" Begitu besar perhatian Allah dan kekasih-Nya pada orangtua kita. Walaupun Beliau (orangtua) menyuruh kita mepersekutukan Allah, Allah dan Rasul tetap mengharuskan kita untuk berbuat baik kepada orangtua kita.

Karena itulah sahabatku, Janganlah cinta kita pada seseorang melebihi cinta kita pada ibu. Bukankah peran seorang ibu sangat besar dalam kehidupan ini?! Kita terkadang tidak menyadari setelah kita dewasa, tidakkah kita terpikir mampukah kita membalas kasih sayang orang tua kita?.

Sahabatku, seorang lelaki dikatakan baik jika ia mampu menghargai seorang wanita. Dan wanita itu dikatakan mulia jika ia senantiasa menghargai dirinya. Tidak ada bekas ibu ataupun bekas anak. Dan jika rasa cintamu pada ibu lebih besar, Insya Allah... Para laki-laki shalih akan merasa bahwa kelak pendampingnya adalah anugerah terindah yang diberikan Allah Swt pada dirinya, dan tidak akan mampu mencari penggantinya.

Para wanita shalihat akan selalu belajar menutupi kekurangannya, karena ia yakin bahwa "saya adalah yang terindah" dihatinya... Dari Abdullah bin Umar r.a., katanya Rasulullah Saw, bersabda: "Dunia ialah kesenangan. Sebaik-baik kesenangan dunia ialah perempuan yang saleh".

Jika para laki-laki shalih mendapati pasangannya suatu kekurangan, sungguh itu tak sebanding dengan kelebihannya. Maka itu bimbinglah sahabat sejatimu menjadi sempurna dengan bimbingan yang bijaksana, sebagaimana Rasulullah membimbing.

Dari Abu Hurairah r.a., katanya Nabi Saw bersabda: "Siapa yang iman dengan Allah dan hari kiamat, maka apabila dia menyaksikan suatu peristiwa, hendaklah dia menanggapi dengan baik atau diam. Bijaksanalah membimbing wanita, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan bahagiannya yang paling bengkok ialah yang sebelah atas. Jika engkau berusaha meluruskannya, niscaya dia patah. Tetapi jika engkau biarkan, dia akan senantiasa bengkok. Karena itu bijaksanalah membimbing wanita dengan baik."

Dan hidup ini akan selalu menyapu kesejukan dan keteduhan dalam diri kita semua. Membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah dan senantiasa diberkahi Allah Swt. Aamiin, Ya Rabbal aalamiin.

Ya Tuhan kami, beri ampunlah aku pada kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mu'min pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)". (QS. Ibrahim 14:41)

Billaahi taufiq walhidayah Wassalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

akhlak Rasulullah S.A.W

Mengenang Akhlak Nabi Muhammad SAW


Setelah Nabi wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan tangisan
ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah
meninggalkan para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui
menemui Umar dan dia meminta, زceritakan padaku akhlak Muhammadس. Umar
menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia
menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan
permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun.
Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.


Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior
Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa
mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad. Dengan berharap-harap
cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata,
زceritakan padaku keindahan dunia ini!.س Badui ini menjawab, زbagaimana
mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini...س Ali menjawab,
زengkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah
berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka,
lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Muhammad, sedangkan Allah telah
berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS.
Al-Qalam[68]: 4)س


Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi yang sering disapa
زKhumairahس oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qurصan (Akhlaknya
Muhammad itu Al-Qurصan). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi itu
bagaikan Al-Qurصan berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera
menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qurصan.
Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak QS
Al-Muصminun[23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya
dengan Nabi. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan
air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka.
Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah
dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.


Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi, Aisyah
hanya menjawab, زah semua perilakunya indah.س ketika didesak lagi, Aisyah
baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. زKetika aku
sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit
kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, شYa Aisyah, izinkan aku untuk
menghadap Tuhanku terlebih dahulu.ص Apalagi yang dapat lebih membahagiakan
seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih
sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga
seorang utusan Allah.


Nabi Muhammad jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang
subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka
pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan
pintu. Aisyah berkata, زmengapa engkau tidur di sini.س Nabi Muhammmad
menjawab, زaku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu
sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan
pintu.س Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita
terhadap isteri kita? Nabi mengingatkan, زberhati-hatilah kamu terhadap
isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.س Para
sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka
takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.


Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut
terlambat datang ke Majelis Nabi. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin
untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya
tempat. Di tengah kebingungannya, Rasul memanggilnya. Rasul memintanya duduk
di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul pun melipat sorbannya lalu
diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Sahabat
tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak
menjadikannya alas duduk akan tetapi mencium sorban Nabi.


Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung
tiba-tiba melayani kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk
kita. Bukankah kalau mendapat kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita
sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi, sebagai pemimpin ia ingin
menyenangkan dan melayani bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah
pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru
akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita baca
kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang
paling utama. Terhadap Abu Bakar, Rasul selalu memujinya. Abu Bakar-lah yang
menemani Rasul ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika
Rasul sakit. Tentang Umar, Rasul pernah berkata, زsyetan saja takut dengan
Umar, bila Umar lewat jalan yang satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.س
Dalam riwayat lain disebutkan, زNabi bermimpi meminum susu. Belum habis satu
gelas, Nabi memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para
sahabat bertanya, Ya Rasul apa maksud (taصwil) mimpimu itu? Rasul menjawab
ilmu pengetahuan.س


Tentang Utsman, Rasul sangat menghargai Ustman karena itu Utsman menikahi
dua putri nabi, hingga Utsman dijuluki dzu an-Nurain (pemilik dua cahaya).
Mengenai Ali, Rasul bukan saja menjadikannya ia menantu, tetapi banyak
sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali. زAku ini kota ilmu, dan Ali
adalah pintunya.س زbarang siapa membenci Ali, maka ia merupakan orang
munafik.س

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya
sembilan kelebihan dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik
berjam-jam untuk membicarakan yang satu itu dan melupakan yang sembilan.
Ah...ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka mencela. Ternyata kita
belum mengikuti sunnah Nabi.


Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun
sangat menghormati Nabi Muhammad. Buktinya, dalam Al-Qurصan Allah memanggil
para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika
memanggil Nabi Muhammad, Allah menyapanya dengan زWahai Nabiس. Ternyata
Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabatpun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada
Nabi. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap rasul. Mereka ingin Rasul
menunjuk pemimpin buat mereka. Sebelum Nabi memutuskan siapa, Abu Bakar
berkata: زAngkat Al-Qaصqa bin Maصbad sebagai pemimpin.س Kata Umar, زTidak,
angkatlah Al-Aqraص bin Habis.س Abu Bakar berkata ke Umar, زKamu hanya ingin
membantah aku saja,س Umar menjawab, زAku tidak bermaksud membantahmu.س
Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin keras. Waktu itu
turunlah ayat: زHai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha
Mendengar dan maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menaikkan suaramu di atas suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu
dalam percakapan dengan dia seperti mengeraskan suara kamu ketika bercakap
sesama kamu. Nanti hapus amal-amal kamu dan kamu tidak menyadarinya
(al-hujurat 1-2)


Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, زYa Rasul Allah, demi
Allah, sejak sekarang aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti
seorang saudara yang membisikkan rahasia.س Umar juga berbicara kepada Nabi
dengan suara yang lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar
banyak sekali bersedekah, karena takut amal yang lalu telah terhapus. Para
sahabat Nabi takut akan terhapus amal mereka karena melanggar etiket
berhadapan dengan Nabi.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi didatangi utusan pembesar
Quraisy, Utbah bin Rabiصah. Ia berkata pada Nabi, زWahai kemenakanku, kau
datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki. Jika kau
kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan
kemuliaan akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang
dideritamu, akan kami carikan obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami
jadikan engkau penguasa kamiس


Nabi mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak sekalipun beliau
membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi
bertanya, زSudah selesaikah, Ya Abal Walid?س زSudah.س kata Utbah. Nabi
membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat. Ketika sampai pada ayat
sajdah, Nabi bersujud. Sementara itu Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai
menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana
Nabi dengan sabar mendegarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita
mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak
Nabi dalam majelis ilmu. Yang menakjubkan adalah perilaku kita sekarang.
Bahkan oleh si Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi
dan menyuruh kaumnya membiarkan Nabi berbicara. Jangankan mendengarkan
pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara
kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup
suara obrolan kita. Masya Allah!


Ketika Nabi tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir Mekkah
yang meminta janji Nabi bahwa Nabi akan mengembalikan siapapun yang pergi ke
Madinah setelah perginya N abi. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang
sahabat rupanya tertinggal di belakang Nabi. Sahabat ini meninggalkan
isterinya, anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang
pasir, akhirnya ia sampai di Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui
Nabi dan melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi? زKembalilah engkau ke
Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.س
Sahabat ini menangis keras. Bagi Nabi janji adalah suatu yang sangat agung.
Meskipun Nabi merasakan bagaimana besarnya pengorbanan sahabat ini untuk
berhijrah, bagi Nabi janji adalah janji; bahkan meskipun janji itu diucapkan
kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji, merupakan
salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi telah menyerap di sanubari
kita atau tidak.


Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi berkata pada para
sahabat, زMungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di
padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena
perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada
kalian, ucapkanlah!س Sahabat yang lain terdiam, namun ada seorang sahabat
yang tiba-tiba bangkit dan berkata, زDahulu ketika engkau memeriksa barisa
di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku
tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash
hari ini.س Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani
berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap زmembereskanس
orang itu. Nabi melarangnya. Nabi pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke
rumah Nabi. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi keheranan ketika Nabi
meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah
pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu
setelah semua yang Rasul berikan pada mereka.


Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan
bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi. Nabi berkata, زlakukanlah!س
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu
keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi dan memeluk Nabi seraya
menangis, زSungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan
kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai
Rasulullah.س Seketika itu juga terdengar ucapan, زAllahu Akbarس
berkali-kali. sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi itu tidak mungkin
diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu
tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sebelum
Allah memanggil Nabi.


Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun
badannya merupakan perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan
sebelum yang kita sakiti memaafkan kita. Rasul pun sangat hati-hati karena
khawatir ada orang yang beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang
kita sakiti menuntut balas nanti di padang Mahsyar di depan Hakim Yang Maha
Agung ditengah miliaran umat manusia. Jangan-jangan kita menjadi orang yang
muflis. Naصudzu billah.....


Nabi Muhammad ketika saat haji Wadaص, di padang Arafah yang terik, dalam
keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu
Nabi dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, زNanti di hari
pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi,
perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?س Para
sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi melanjutkan,
زBukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah
telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian,
bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah ku
sampaikan pada kalian wahyu dari Allah.....?س Untuk semua pertanyaan itu,
para sahabat menjawab, زbenar ya Rasul!س


Rasul pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, زYa Allah
saksikanlah...Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah!س. Nabi meminta
kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya
pun meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah.زYa Allah
saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu
dengan kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang
indah; semua budi pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin
dibangkitkan nanti di padang Mahsyar bersama Nabiyullah Muhammad, betapa
kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang sama dengan surganya Nabi
kami. Ya Allah saksikanlah...Ya Allah saksikanlah Ya Allah saksikanlahس

balasan kejujuran dan amanah

Setiap muslim diperintahkan untuk berlaku amanah dan memiliki akhlak yang baik serta sifat yang terpuji. Barang-siapa yang melakukan sifat-sifat tersebut, niscaya ia diberi balasan yang baik, di dunia maupun di akhirat. Barangsiapa yang meninggalkan khianat dan menipu karena Allah dengan segenap kejujuran dan keikhlasan, niscaya Allah mengganti hal tersebut dengan kebaikan yang banyak Abu Hurairah radhiallahu 'anhu meriwayatkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Ada seorang laki-laki yang membeli tanah perkebunan dari orang lain. Tiba-tiba orang yang membeli tanah perkebunan tersebut menemukan sebuah guci yang di dalamnya terdapat emas. Maka ia berkata kepada penjualnya, 'Ambillah emasmu dariku, sebab aku hanya membeli tanah perkebunan, tidak membeli emas!' Orang yang memiliki tanah itu pun menjawab, 'Aku menjual tanah itu berikut apa yang ada di dalamnya'. Lalu keduanya meminta keputusan hukum kepada orang lain. Orang itu berkata,'Apakah kalian berdua memiliki anak?' Salah seorang dari mereka berkata, 'Aku memiliki seorang anak laki-laki'. Yang lain berkata, 'Aku memiliki seorang puteri'. Orang itu lalu berkata, 'Nikahkanlah anak laki-laki(mu) dengan puteri(nya) dan nafkahkanlah kepada keduanya dari emas itu dan bersedekahlah kalian dari padanya!'." (HR. Al-Bukhari dalam Akhbar Bani Israil, dan Muslim).

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda bahwasanya beliau menyebutkan seorang laki-laki dari Bani Israil yang meminta orang Bani Israil lainnya agar memberinya hutang sebesar 1000 dinar. Lalu orang yang menghutanginya berkata, 'Datangkanlah beberapa saksi agar mereka menyaksikan (hutangmu ini)'. Ia menjawab, 'Cukuplah Allah sebagai saksi bagiku!' Orang itu berkata, 'Datangkanlah seseorang yang menjamin(mu)!' Ia menjawab, 'Cukuplah Allah yang menjaminku!' Orang yang akan menghutanginya pun lalu berkata, 'Engkau benar!' Maka uang itu diberikan kepadanya (untuk dibayar) pada waktu yang telah ditentukan.

(Setelah lama) orang yang berhutang itu pun pergi berlayar untuk suatu keperluannya. Lalu ia mencari kapal yang bisa mengantarnya karena hutangnya telah jatuh tempo, tetapi ia tidak mendapatkan kapal tersebut. Maka ia pun mengambil kayu yang kemudian ia lubangi, dan dimasukkannya uang 1000 dinar di dalamnya berikut surat kepada pemiliknya. Lalu ia meratakan dan memperbaiki letaknya. Selanjutnya ia menuju ke laut seraya berkata, 'Ya Allah, sungguh Engkau telah mengetahui bahwa aku meminjam uang kepada si fulan sebanyak 1000 dinar. Ia memintaku seorang penjamin, maka aku katakan cukuplah Allah sebagai penjamin, dan ia pun rela dengannya.

Ia juga meminta kepadaku saksi, maka aku katakan, cukuplah Allah sebagai saksi, dan ia pun rela dengannya. Sungguh aku telah berusaha keras untuk mendapatkan kapal untuk mengirimkan kepadanya uang yang telah diberikannya kepadaku, tetapi aku tidak mendapatkan kapal itu. Karena itu, aku titipkan ia kepadaMu'. Lalu ia melemparnya ke laut sehingga terapung-apung, lalu ia pulang.

Adapun orang yang memberi hutang itu, maka ia mencari kapal yang datang ke negerinya. Maka ia pun keluar rumah untuk melihat-lihat barangkali ada kapal yang membawa titipan uangnya. Tetapi tiba-tiba ia menemukan kayu yang di dalamnya terdapat uang. Ia lalu mengambilnya sebagai kayu bakar untuk isterinya. Namun, ketika ia membelah kayu tersebut, ia mendapatkan uang berikut sepucuk surat. Setelah itu, datanglah orang yang berhutang kepadanya. Ia membawa uang 1000 dinar seraya berkata, 'Demi Allah, aku terus berusaha untuk mendapatkan kapal agar bisa sampai kepadamu dengan uangmu, tetapi aku sama sekali tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang!'.

Orang yang menghutanginya berkata, 'Bukankah engkau telah mengirimkan uang itu dengan sesuatu?' Ia menjawab, 'Bukankah aku telah beritahukan kepadamu bahwa aku tidak mendapatkan kapal sebelum yang aku tumpangi sekarang?' Orang yang menghutanginya mengabarkan, 'Sesungguhnya Allah telah menunaikan apa yang engkau kirimkan kepadaku melalui kayu. Karena itu bawalah uang 1000 dinarmu kembali dengan beruntung!'

(HR. Al-Bukhari, 4/469, Kitabul Kafalah , dan Ahmad).

Jumat, 20 Februari 2009

nasehat lukmanul hakim

NASIHAT "Lukmanul Hakim" untuk GERERASI MUDA

1. Wahai anakku, juallah duniamu demi kehidupan
akhiratmu, niscaya engkau akan memperoleh kedua-duanya
dengan beruntung.

2. Wahai anakku, janganlah mencampuri urusan dunia
terlalu dalam sehingga membuat rusak urusan akhiratmu,
tetapi janganlah meninggalkan sama sekali, sehingga
kamu menjadi beban orang lain.

3. Wahai anakku, apabila terdapat pada diri seseorang
lima hal ;agama, harta, sifat malu, baik budi, dan
dermawan, maka ia seorang yang bersih lagi takwa,
menjadi kekasih Allah dan lepas dari ganguan setan.

4. Wahai anakku, aku menasehati engkau dengan
sifat-sifat, yang apabila engkau berpegang teguh
dengannya niscaya engkau selalu menjadi orang
terhormat,yaitu :
- bentangkankah sifat bijakmu kepada orang yg dekat
maupun jauh darimu.
- janganlah engkau perlihatkan kebodohanmu terhadap
orang yg jujur maupun yang culas dan khianat.
- Bersilaturakhmi kepada kaum kerabatmu,
- Peliharalah teman-temanmu jangna sampai menerima
orang yang berusaha berbuat jahat,yang menginginkan
kerusakanmu dan bermaksud menipumu.
- Dan jadikanlah teman-temanmu tergolong orang-orang
yg apabila engkau berpisah dengan mereka dan mereka
berpisah denganmu , engkau tidak mengemukakan cacat
mereka dan sebaliknya mereka tidak mengungkapkan
cacatmu.

5. Apabila engkau bermaksud menjadikan seseorang
menjadi saudara, maka buatlah ia marah.
Apabila ia berlaku adil kepadamu ketika ia marah ,
maka jadikanlah ia sebagai saudara , kalau tidak maka
jauhilah ia.


=======================================================

LUKMANUL HAKIM adalah sebuah nama yang secara khusus
disebut oleh Allah dalam beberapa ayat Al-Qur'an.
Penyebutan secara khusus tersebut tentu memiliki makna
yang khusus pula dalam konteks Lukmanul Hakim ini,
disamping Allah ingin menjadikan Lukmanul Hakim
sebagai sumber hikmah, juga Allah ingin menandaskan
bahwa betapa pentingnya para orang tua memberi nasihat

dan wasiat kepada anaknya tentang jalan yang benar,
yakni jalan yang jauh dari kemusyrikan dan
kemungkaran, kita bisa menyaksikan di zaman ini betapa
banyaknya generasi muda yang terperosok ke dalam
jurang kemaksiatan gara-gara orang tuanya tidak/kurang
memberikan nasihat kepada putera-puterinya dalam
menghadapi era modern yang berselimut dosa ini.
=======================================================

wasiat orang alim

WASIAT SEORANG ALIM
*******************

Pada suata ketika ada seseorang meminta nasihat kepada Ibrahim bin Adham Ra yang terkenal sebagai orang zahid. Kata orang itu, "Ya Ibrahim, berilah kami wasiat yang dengan itu menjadikan seluruh kehidupan kami bermanfaat."

Ibrahim bin Adham memberikan nasihatnya:
- Kalau engkau melihat orang sibuk dengan dunia, maka sibukkanlah dirimu dengan soal akhirat.
- Kalau engkau melihat orang sibuk memperindah lahirnya, maka sibukkanlah dirimu dengan memperindah batinmu.
- Kalau engkau melihat orang sibuk memakmurkan perkebunan, maka sibukkanlah dirimu memakmurkan kuburan.
- Kalau engkau melihat orang sibuk mengabdikan diri kepada sesamanya, maka sibukkanlah dirimu mengabdikan diri kepada Robbul 'alamin.
- Kalau engkau melihat orang sibuk mempergunjingkan orang lain, maka sibukkanlah dirimu dengan keburukan dirimu sendiri.
- Jadikanlah kehidupan di dunia sebagai lahan pertanian yang akan menghantarkan engkau ke panenan raya di akhirat kelak!

9 tips tarbiyah

أدعية الأنبياء و الصدقين و ال البيت الصالحينpesnan jamal


Tips 9 Jenis Tarbiyah

Sembilan aspek pendidikan bagi Muslim unggulan

Tak ada guru sehebat Nabi Muhammad Shalallaahu 'alaihi wa sallam, dan tak ada murid sehebat para shahabat Radhiallaahu 'anhum. Ummat ini tidak akan menjadi baik kecuali dengan apa yang telah membuat baik generasi pertamanya itu. Nabi sebagai guru terbaik tidak berkata-kata, bersikap, dan bertindak kecuali dengan bimbingan dari Allah Subhaanahu wa ta'ala. Sedangkan para shahabat mengisi hari-harinya selama lebih 20 tahun dengan semua keteladanan gurunya itu secara kreatif dan independen.

Berbagai usaha dilakukan para ulama dari berbagai zaman untuk menggali dan merumuskan manhaj Rasulullah serta tahap-tahapnya mendidik Muslimin generasi pertama menjadi manusia-manusia unggulan sepanjang masa. Di antara para ulama agung itu adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (lahir di Damaskus 691H). Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy merangkum pemikiran Ibnu Qayyim yang tersebar itu dalam sebuah disertasi doktornya di Fakultas Ilmu-ilmu Sosial jurusan Tarbiyah Universitas Imam Muhammad bin Su'ud, Arab Saudi (Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, penerbit al-Kautsar, Jakarta, Pebruari 2001).

Di bawah ini adalah tips melaksanakan 9 jenis tarbiyah yang digali Ibnu Qayyim rangkuman Dr Hasan al-Hijazy itu.


1. Tarbiyah Imaniyah (mendidik iman)

Ada tiga sarana (wasilah) untuk mendidik iman. Pertama, selalu mentadabburi (mengamati, mempelajari, menghayati) tanda-tanda kekuasaan Allah Dzat Pencipta serta keluasan rahmat dan hikmah perbuatan-Nya. Tadabbur itu bisa dilakukan dengan penglihatan biasa (bashirah), bisa pula dengan penalaran akal sehat, dengan mentadabbur kekuasaan Allah, hasil-hasil ciptaan-Nya, gejala-gejala alam, kesempurnaan penciptaan manusia, juga ayat-ayat al-Qur'an.

Kedua, selalu mengingat kematian yang penuh kepastian. Ketiga, mendalami fungsi semua jenis ibadah ibadah sebagai salah satu cara mendidik iman. Caranya dengan banyak mengerjakan amal shalih yang sendi utamanya adalah keikhlasan; juga memperbanyak doa dan harapan kepada Allah semata; menghindari riya' dalam berkata dan bertindak; mencintai firman Allah; berkeyakinan bahwa kelak akan berjumpa langsung dengan Allah; terakhir, melanggengkan rasa syukur dalam keadaan apapun.


2. Tarbiyah Ruhiyah (mendidik ruhani)

Ibnu Qayyim mencatat 7 cara melakukan tarbiyah ruhiyah, yaitu: memperdalam iman kepada hal-hal (ghaib) yang dikabarkan Allah seperti azab kubur, alam barzakh, akhirat, hari perhitungan; memperbanyak dzikir dan shalat; melakukan muhasabah (introspeksi diri) setiap hari sebelum tidur; mentadabburi makhluk Allah yang banyak menyimpan bukti-bukti kekuasaan, ketauhidan, dan kesempurnaan sifat Allah; serta mengagungkan, menghormati, dan mengindahkan seluruh perintah dan larangan Allah.


3. Tarbiyah Fikriyah (mendidik pikiran)

Kegiatan tafakkur (merenung/berkontemplasi) menurut Ibnu Qayyim adalah menyingkap beberapa perkara dan membedakan tingkatannya dalam timbangan kebaikan dan keburukan. Dengan tafakkur, seseorang bisa membedakan antara yang hina dan yang mulia, dan antara yang lebih buruk dari yang buruk. Kata Imam Syafi'i, "Minta tolonglah atas pembicaraanmu dengan diam dan atas analisamu dengan tafakkur." Ibnu Qayyim mengomentari kalimat itu dengan berkata, "Yang demikian itu dikarenakan tafakkur adalah amalan hati, dan ibadah adalah amalan jawarih (fisik), sedang kedudukan hati itu lebih mulia daripada jawarih, maka amal hati lebih mulia daripada amal jawarih. Di samping itu, tafakkur bisa membawa seseorang kepada keimanan yang tak bisa diraih oleh amal semata." Sebaik-baik tafakkur adalah saat membaca al-Qur'an, yang akan mengantar manusia kepada ma'rifatullah (mengenal Allah).


4. Tarbiyah 'Athifiyah (mendidik perasaan)

Naluri (insting), kesedihan, kegembiraan, kemarahan, ketakutan, dan cinta merupakan perasaan-perasaan utama yang selalu mendera manusia. Sedangkan cinta adalah perasaan yang bisa menjadi motivasi paling kuat untuk menggerakkan manusia melakukan apapun. Maka Ibnu Qayyim memberi 11 resep menduduk perasaan cinta, yaitu: menanamkan perasaan yang kuat bahwa seorang hamba sangat membutuhkan Allah, bukan yang lain; meyakinkan diri sendiri bahwa satu hati yang menjadi milik manusia harus dipenuhi hanya oleh satu cinta; mengokohkan perasaan bahwa pemilik segala sesuatu di dunia ini Allah semata; beribadah kepada Allah dengan nama-namanya Yang Maha Awal, Maha Akhir, Maha Zhahir, dan Maha Bathin demi menumbuhkan rasa fakir (butuh) kepada Allah; bersikap tegas bahwa tak ada yang lebih tinggi dan mulia kedudukannya sesudah Allah; menanamkan ma'rifat tentang betapa banyak nikmat Allah dan betapa banyak kelemahan kita; menanamkan ma'rifat bahwa Allah-lah yang telah menciptakan semua perbuatan hambanya dan telah menanamkan iman di dalam hatinya; menanamkan perasaan butuh pada hidayah Allah dalam setiap detik kehidupannya; serius memanjatkan doa-doa yang meminta pertolongan Allah dalam menghadapi apapun; menanamkan kesadaran penuh akan nikmat dan karunia-Nya yang begitu banyak; serta, menanamkan ilmu bahwa cinta kepada Allah merupakan tuntutan iman.


5. Tarbiyah Khuluqiyah (mendidik akhlaq)

Misi utama Rasulullah di muka bumi untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Contoh-contoh utama akhlaq mulia yang diharapkan dari seorang Muslim adalah sabar, syaja'ah (keberanian), al-itsar (mendahulukan kepentingan orang lain), syukur, jujur, dan amanah. Cara mendidikkan aklaq yang mulia itu adalah: pertama, mengosongkan hati dari iktikad dan kecintaan kepada segala hal yang bathil; kedua, mengaktifkan dan menyertakan seseorang dalam perbuatan baik (al-birr); ketiga, melatih dan membiasakan seseorang dalam perbuatan baik itu; keempat, memberi gambaran yang buruk tentang akhlaq tercela; dan kelima, menunjukkan bukti-bukti nyata sebagai buah dari akhlaq yang mulia.


6. Tarbiyah Ijtimaiyah (mendidik bermasyarakat)

Pendidikan kemasyarakatan yang baik adalah yang selalu memperhatikan perasaan orang lain. Seorang Muslim dalam masyarakat tidak dibenarkan menyakiti saudaranya walaupun hanya dengan menebarkan bau yang tidak enak. Bahkan Ibnu Qayyim berpendapat, tidak cukup hanya tidak menyakiti perasaan, seorang Muslim harus mampu membahagiakan dan menyenangkan hati saudara-saudara di sekitarnya.


7. Tarbiyah Iradiyah (mendidik cita-cita)

Tarbiyah iradiyah berfungsi mendidik setiap Muslim untuk memiliki kecintaan terhadap sesuatu yang dicita-citakan, tegar menanggung derita di jalannya, sabar dalam menempuhnya mengingat hasil yang kelak akan diraihnya serta melatih jiwa dengan kesungguhan dalam beramal. Tanda-tanda iradah yang sehat adalah kegelisahan hati dalam mencari keridhaan Allah dan persiapan untuk bertemu dengan-Nya. Seseorang yang iradah-nya sehat juga akan bersedih karena menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak diridhai Allah. Sedangkan iradah yang rusak akan lahir dalam bentuk penyakit ilmu, pengetahuan, dan keahlian yang berlawanan dengan syari'ah Allah.


8. Tarbiyah Badaniyah (mendidik jasmani)

Seorang Muslim harus secara terprogram memperhatikan unsur badan, menjaganya dan memenuhi hak-haknya secara sempurna. Perhatian yang demikian akan mengantarkan seseorang pada ketaatan penuh dan kesempurnaan dalam menjalankan semua yang diwajibkan Allah kepadanya. Tarbiyah badaniyah ini meliputi: pembinaan badan di waktu sehat; pengobatan di waktu sakit; pemenuhan kebutuhan gizi; serta olah raga (tarbiyah riyadhah).


9. Tarbiyah Jinsiyah (pendidikan seks)

Insting seks merupakan sesuatu yang diciptakan Allah, yang segera diwadahi oleh satu-satunya lembaga halal yaitu pernikahan. Faedah dari seks (jima') menurut Ibnu Qayyim adalah: pertama, menjaga dan melestarikan kehidupan manusia; kedua, mengeluarkan sperma yang jika tertimbun terlalu lama dalam tubuh akan membahayakan kesehatan manusia; dan ketiga, wasilah untuk memenuhi hajat seksual dan untuk meraih kenikmatan batin dan biologis.

Tarbiyah jinsiyah bisa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: memperbanyak pembicaraan tentang bahaya-bahaya zina dan berbagai kerusakan yang ditumbulkannya, termasuk ancaman terhadap dosa zina; menyebarluaskan peringatan dan penjelasan tentang bahaya serta kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan perilaku homoseksual; menjadikan kebiasaan untuk membatasi pandangan mata sebagai kebudayaan di tengah masyarakat; tidak berkata-kata maupun melangkahkan kaki kecuali kepada hal-hal yang pasti mendapat pahala dari Allah; menyatakan perang terhadap semua bentuk nafsu dan keinginan yang buruk; meniadakan waktu yang kosong; memperbanyak ibadah sunnah; melarang anak-anak bergaul dengan teman yang buruk akhlaqnya; melarang anak-anak dengan keras untuk mendekati khamr (minuman keras); serta melindungi anak dari penyimpangan fitrah kelaminnya.· (wpr)